PRIMA: Indonesia Butuh Poros Politik Baru

Ketua Umum PRIMA, Agus Jabo Priyono. Foto: Dok. PRIMA.

JAKARTA – Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) menganggap para aktor politik pascareformasi tak bisa membawa Indonesia keluar dari lilitan korupsi, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi. Ditambah lagi krisis tersebut diperparah dengan pandemi Covid-19 yang dianggap PRIMA penanganannya tak tepat.

“Selama pandemi, politik kita tak hanya gagap merespon krisis pandemi, tetapi justru menampilkan bentuk terburuk dari politik, yakni korupsi bansos,” kata Ketua Umum PRIMA, Agus Jabo Priyono dalam keterangan tertulisnya pada Kamis (12/8/2021).

Selain itu, menurut Agus Jabo Priyono, di tengah pandemi para elit politik di pemerintahan juga malah sibuk dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya.

“Mereka sibuk saling sikut dan intrik menuju pemilu 2024. Bukannya hadir di tengah rakyat untuk menghadapi pandemi, malah sibuk memasang baliho bergambar wajah masing-masing,” tegas Agus Jabo Priyono.

Bacaan Lainnya

“Kita sedang berhadapan dengan krisis politik yang bukan hanya berujung pada lumpuhnya negara dalam merespon krisis akibat pandemi, tetapi mengarah pada apa yang disebut Sukarno sebagai krisis ‘gezag’,” tambahnya.

Agus menjelaskan, krisis gezag adalah krisis yang menurunkan wibawa simbol-simbol negara, seperti ketidakpercayaan pada pejabat, lembaga, dan simbol-simbol Negara.

“Ini terjadi karena praktek politik yang merusak negara: korupsi, penegakan hukum yang tebang pilih, kebijakan politik yang merugikan rakyat, dan lain-lain. Bung Karno menyebut krisis gezag sebagai krisis paling berbahaya karena bisa memicu disintegrasi sosial dan runtuhnya bangunan kebangsaan,” jelasnya.

Menurutnya, baik krisis yang dipertajam oleh pandemi maupun krisis gezag bermuasal dari akar masalah yang sama, yakni tata kelola kekuasaan yang hanya dipegang oleh segelintir orang untuk melayani segelintir orang.

“Kalau kita lihat konfigurasi politik Indonesia, hanya dua kubu yang dominan mewarnai politik Indonenesia, poros istana versus poros oposisi. Poros istana meliputi individu maupun kekuatan politik (partai-partai pendukung pemerintah) yang sedang berada di lingkaran kekuasaan. Sedangkan poros oposisi meliputi Demokrat (SBY), PKS, dan kelompok konservatif,” urainya.

“Masalahnya, kalau kita periksa rekam jejak dua poros itu, mereka bukanlah wajah baru. Merekalah yang mewarnai politik Indonesia sejak pasca reformasi hingga hari ini,” sambungnya.

Agus mengatakan, kedua poros tersebut sudah terbukti dalam dua dekade pasca reformasi silih berganti memimpin tak bisa membawa Indonesia keluar dari lilitan korupsi, kemiskinan, dan ketimpangan ekonomi.

“Partai Rakyat Adil Makmur menganggap kedua poros itu tak bisa diharapkan untuk membawa Indonesia keluar dari dua krisis yang dihadapi Indonesia saat ini. Mereka mewakili wajah lama politik Indonesia yang busuk dan dekaden,” tegasnya.

Untuk itu, Agus menyerukan pembangunan Poros Politik Baru sebagai payung politik untuk semua individu maupun organisasi sosial-politik yang bertekad memperjuangkan Indonesia yang lebih baik, demokratis, adil dan makmur.

“Poros politik baru ini akan mengusung politik anti-oligarki, yaitu penolakan terhadap segelintir elit-kaya yang memanfaatkan kekuasaan politik sekedar untuk melayani kepentingannya menumpuk kekayaan,” jelasnya.

Agus mengurai, Poros politik baru ini akan mengusung dua platform utama. Pertama, Politik kesejahteraan, yaitu memperjuangkan seperangkat kebijakan ekonomi dan politik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup seluruh rakyat Indonesia.

Kedua, politik yang bersih dan demokratis, yang terwujud dalam penyelenggaraan kehidupan politik yang bersifat partisipatif dan transparan.

“Kami percaya, korupsi bisa diperangi kalau partisipasi rakyat diperkuat, pengelolaan negara makin transparan, kemerdekaan pers dijamin, penegakan hukum yang terpercaya, dan penjaminan hak-hak politik rakyat,” pungkasnya.

Pos terkait