KENDARI – Pasca penindakan oleh tim Dittipidter Bareskrim Mabes Polri yang dipimpin langsung oleh Pipit Rismanto pekan lalu di wilayah konsesi Izin Usaha Pertambangan (IUP) tumpang tindih PT Aneka Tambang (PT Antam) yang berada di Blok Mandiodo Kecamatan Molawe Konawe Utara (Konut) menyisakan berbagai problem sektoral, baik itu pada aspek ekonomi maupun kesenjangan sosial pada masyarakat sekitar tambang, terlebih lagi pada aspek lingkungan dan ekologis.
Ketua Taman Mahasiswa dan Pemuda Tolaki (Tamalaki) Sulawesi Tenggara (Sultra) Alfian Annas mengatakan, kegiatan pertambangan merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan masalah-masalah yang ada sekalipun kegiatan dilakukan secara legal apalagi jika ilegal.
“Seakan semua diam tidak hanya pada level pemerintah daerah, pemerintah provinsi, sampai pemerintah pusat yang pada akhirnya Mabes Polri menyetop kegiatan pertambangan di lahan yang berstatus quo. Timbul pertanyaan ada apa dengan negeri ini?,” kata Alfian dalam keterangan persnya yang diterima Parlemen.id, Rabu (13/10/2021).
Selanjutnya, akibat semua merasa benar dan serta tidak adanya kepastian hukum yang diberikan kepada masing-masing perusahaan, menjadi serba salah hingga belasan IUP swasta memaksakan tetap beroperasi dan PT Antam sendiri hormat pada jalur hukum berakibat tak bergerak menjadikan areal claimnya menjadi lahan tidur.
Dinamika inilah yang kemudian banyak pihak yang merasa dirugikan akibat aktifitas tambang perusahaan swasta berhenti dan ada juga sekelompok orang justru memberikan dukungan kepada perusahaan plat merah itu.
“Harapan kami selaku generasi muda Suku Tolaki menghimbau agar kita sesama pribumi tidak dimanfaatkan yang bisa berujung terjadinya konflik horisontal. Ada yang mendukung ini, ada yang mendukung itu bukan substansinya untuk keluar dari masalah sengketa. Kita tetap NKRI dan menjunjung tinggi hukum yang ada,” terang aktifis muda Sultra ini.
“Sebelum terjadi hal-hal yang tidak di inginkan maka dari itu kami juga meminta kepada Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara bersama Kejaksaan Tinggi untuk segera memfasilitasi kedua belah pihak membuka ruang audience. Karena polemik hukum ini terus berlarut-larut tanpa selesai karena status hukumnya sama-sama memiliki bukti putusan hukum yang tetap,” jelasnya.
Lebih jauh dijelaskannya, jika semua sudah clear patut juga dipertanyakan eksistensi investasi perusahaan pertambangan itu. Kepada pihak PT Antam sebagai perusahaan negara yang sudah lama beroperasi di Konut tapi tidak signifikan membawa kesejahteraan rakyat dan daerah Konut.
Puluhan ribu lahan cadangan nikel di kuasainya mestinya bangun pabrik, jika serius investasi harusnya membuka ruang lapangan kerja bagi anak lokal bukan status buruh outsourcing melainkan merekrut dan mengangkat tenaga staf untuk bergabung di birokrasi PT Antam karena ini menyangkut BUMN.
“Bagaimana masyarakat Konut tidak pesimis, kantornya saja masih status sewaan (rumah warga). Sekelas PT Antam minimal kantornya sudah berlantai tiga. Begitu juga dengan IUP swasta lawan sengketanya harus bertanggungjawab terkait reklamasi dan pasca tambangnya,” bebernya.
“Kalau daerah ini mau benar dan baiknya terakhir putihkan saja semua IUP mereka lalu ambil alih kemudian dikelola oleh Perusahaan Daerah (Perumda). Kami yakin dengan formula ini dapat kita nikmati secara mandiri kekayaan alam daerah kita sendiri,” demikian Alfian.