Wakil Ketua Umum Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) Alif Kamal menyoroti aturan mengenai kewajiban dan biaya tes Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk syarat perjalanan transportasi menuai banyak tanggapan dari pelbagai kalangan.
Dikatakannya, biaya tes yang terlalu mahal dianggap tidak adil dan hanya merupakan permainan segelintir orang atau kelompok tertentu yang ingin memanfaatkan kondisi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
“Sejak awal, sebenarnya pemerintah sudah galau dan tidak tegas dalam melakukan pengaturan biaya tes PCR ini,” kata Alif dalam keterangannya, Rabu (3/11/2021).
Di awal pandemi, pemerintah mengeluarkan aturan wajib tes PCR bagi masyarakat yang ingin bepergian ke luar kota, biayanya mencapai Rp2,5 juta. Selanjutnya, pada Agustus 2021 pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menetapkan batas biaya tes PCR sebesar Rp900 ribu.
Lantaran masih dianggap terlalu tinggi dan banyak menerima penolakan dari masyarakat, Presiden Joko Widodo meminta kepada Menteri Kesehatan untuk menurunkan biaya tes PCR pada kisaran Rp450 ribu hingga Rp550 ribu. Dua bulan kemudian, Presiden kembali meminta biaya tes diturunkan menjadi Rp300 ribu dengan masa berlaku 3 x 24 jam.
Selain kegalauan dan kebimbangan pemerintah, ada dugaan para pejabat pemerintah terlibat dalam permainan harga tes PCR dengan memanfaatkan kondisi pandemi untuk mendapatkan keuntungan pribadi.
“Para pejabat itu adalah Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dan Menteri BUMN Erick Thohir,” tulis Alif.
Kedua Menteri tersebut dituding terlibat dalam pendirian PT Genomik Solidaritas Indonesia (GSI) yang menyediakan jasa tes PCR bagi masyarakat.
“Menurut kami, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus merespon dugaan tersebut dengan memanggil mereka dan mengungkap permainan harga yang melibatkan pejabat negara itu,” bilangnya.
Apalagi, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah membatalkan ketentuan terkait impunitas bagi pejabat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19 Pasal 27 ayat (1), ayat (2) dan (3) yang saat ini sudah menjadi UU Nomor 2 Tahun 2020. Pejabat negara tidak lagi memiliki keistimewaan untuk tidak dipidanakan dalam penanganan Covid-19.
Mengenai hal ini, Tim Hukum PRIMA sedang menganalisis dan menyiapkan data-data terkait untuk melaporkan kedua menteri ini ke penegak hukum, baik KPK maupun Polri. Sebab, hal ini sejalan dengan program prioritas partai yang ingin mewujudkan pemerintahan bersih. Apalagi, PRIMA juga menilai bahwa musuh besar bangsa Indonesia adalah oligarki.